Bibit Samad Rianto menyatakan bahwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar sudah mengetahui rekayasa kriminalisasi terhadap dirinya dan Chandra M Hamzah sebelum kriminalisasi itu bergulir. Menurutnya, Antasari mengetahui hal itu setelah laptopnya digeledah penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Setelah penggeledahan, Antasari memang dipaksa untuk melaporkan kasus dugaan penyuapan terhadap pimpinan KPK dari Anggodo Widjojo, yang tertuang dalam testimoninya. "Ya, iya. Memang begitu," ungkap Bibit Samad Rianto seusai menjalani kewajiban lapor diri di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (26/10).
Menurut Bibit, Antasari-lah peretas dimulainya rencana perekayasaan kriminalisasi terhadap dia dan Chandra. Dikatakan Bibit kegabahan Antasari yang menemui Anggoro Widjojo di Singapura, setelah korupsi kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Masaro Radiokom di Departemen Kehutanan dan 33 Departemen lainnya, termasuk Polri dan Kejaksaan Agung. Sejak tahun 1985 kasus itu terendus KPK. Hal itu menyebabkan pejabat kejakasaan Agung dan Polri berusaha menghentikan penyidikan SKRT tersebut, khususnya bagi mereka yang tidak mau kasus itu akhirnya terkuak ke publik.
Antasari, yang waktu itu termasuk pejabat Kejaksaan Agung, dinilai Bibit turut mencicipi korupsi pengadaan SKRT oleh Masaro. Hal itu dianggap ilegal karena tidak melalui proses tender. Antasari lalu menemui Anggoro untuk meredam penyidikan kasus yang bermula dari penyidikan KPK terhadap kasus korupsi alih fungsi hutan untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan dengan tersangka Yusuf Emir Faisal. Ini dilakukan karena diketahui membahayakan Kejaksaan Agung dan Polri. "Ya itu," tegas Bibit mengenai peranan Antasari selaku peretas jalan kriminalisasi yang dilakukan pejabat tinggi Polri dan Kejaksaan Agung terhadap dia dan Chandra M Hamzah.
"Penyidikan kami terkait dengan SKRT dianggap berbahaya sehingga orang macam saya ini kira-kira tak disenangi, dan akhirnya dibeginikan (dijebak sehingga jadi tersangka). Saya tentunya enggak terima dibeginikan. Dan itu deputinya, Direktur Penyidikannya dulu Pak Ade Raharja. Masih mereka juga ehingga enggak ada bedanya antara jilid II dan I. Apa pun kebiasaan yang mereka lakukan, ini kita lanjutkan. Tapi kemarin (jilid I) tidak dibeginikan. Jika sekarang yang dipersoalkan itu (penyidikan Masaro), maka kenapa baru sekarang?" ujar Bibit mengomentari penjebakan terhadap dirinya yang dilakukan pejabat Kejaksaan Agung dan Polri, beberapa hari lalu.
Hal senada diungkapkan Taufik Basyari, penasihat hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. "Arahnya memang itu, seperti itu," ujarnya kepada Persda Network.
"Serangan yang paling keras kepada kami ketika kasus Anggoro mulai kami garap. Tanggal 7 Juli 2009 jadi DPO, dikirim surat ke Bareskrim. Pada 10 Juli, Kabareksrim ke sana. Tahunya dari siapa? Dari dia sendiri saat datang ke KPK tanggal 15 Juli. Kenapa dia ke KPK? karena ada isu bahwa pimpinan KPK mau ditangkap karena laporan penyuapan atau pemerasan yang dilaporkan oleh Anggoro atau adiknya, Anggodo, atau melalui pengacaranya. Ada di antara tiga itulah. Kapolri menjelaskan itu tidak benar. Kabarnya, paginya pimpinan Polri itu rapat, terus sorenya dia ngutus Susno ke KPK. Dia (Susno) cerita waktu itu," sambung Bibit menjelaskan kronologi awal kriminalisasi terhadap dirinya dan Chandra M Hamzah.
Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Sulistyo Ishak mengakui adanya pengadaan jaringan komunikasi di tubuh Polri. "Ya ada, tapi seingat saya namanya bukan SKRT," tuturnya. Sulistyo mengaku tidak ingat kapan tepatnya Polri menggunakan jaringan komunikasi. Namun, Sulistyo membantah penanganan kasus dugaan pemerasan Anggoro oleh pimpinan KPK, yang akhirnya membuat kedua pimpinan menjadi tersangka, dilakukan atas kerja sama pengadaan SKRT dengan Masaro.
Sumber Persda Network di kepolisian membenarkan keberadaan Masaro sebagai rekanan pengadaan SKRT di tubuh Polri. Menurut sumber, SKRT di tubuh Polri diadakan oleh Motorola, yang merupakan arkom dari Masaro. "Tapi kasusnya sudah di-SP3 dari lama," ucapnya. Audit BPK terhadap pengadaan SKRT Masaro yang tidak hanya ada di Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa pengadaan itu sarat pelanggaran hukum karena tidak melalui proses tender dan pelaksanaannya tidak pernah diawasi.
Sementara itu, Ary Muladi, tersangka kasus penipuan dan penggelapan aliran dana suap dari Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK, secara mengejutkan mengakui adanya upaya rekayasa pemidanaan kedua pimpinan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kejaksaan Agung dan Polri. "Ya, dia mengaku pernah dipanggil oleh oknum seorang jaksa ke Kejaksaan Agung untuk bertemu dengan jaksa itu, awal-awal pemeriksaan, sekitar bulan Juli," ujar Sugeng Teguh Santoso, penasihat hukum Ary Muladi saat dihubungi Persda, Minggu (25/10).
Ary Muladi lalu disuruh untuk mengakui adanya pemberian uang sejumlah Rp 5,1 milliar kepada pimpinan KPK dalam testimoni 15 Juli, yang merupakan pengakuannya bersama Anggodo Widjojo dalam pemeriksaan perdana yang dilakukan penyidik terhadapnya. Padahal, menurut Ary, seperti dituturkan Sugeng, pemberian uang sebesar Rp 5,1 milliar kepada pimpinan KPK itu tidak pernah dilakukannya. "Ary dalam tekanan (saat mengakui dan menandatangani dokumen 15 Juli) waktu itu oleh penyidik dan Anggodo. Itu pengakuan, yang buat Anggodo, Ary hanya dipaksa menandatangani," ungkap Sugeng.
"Jadi, dia kembali ke nuraninya dan mencabut pengakuan (dokumen 15 Juli) itu karena, saat Ary mengatakan memberi uang itu kepada pimpinan seperti yang tertuang dalam dokumen 15 Juli itu, hal itu merupakan suatu kebohongan dan perekayasaan," ujar Sugeng. Sugeng tidak menampik bahwa Ary dapat dipidanakan oleh tim penasihat hukum KPK akibat perbuatannya itu.
"Benar, dia pernah jadi pelaku perekayasaan. Itu (pemidanaan) bisa saja terjadi. Itu kan sudah terjadi pemfitnahan. Tapi sekarang dia harus dilindungi oleh KPK karena dia justru telah mengungkapkan kebenaran yang ada. Dia telah membantu tim penasihat hukum KPK dan KPK membuka perekayasaan itu karena, saat mencabut pengakuannya, dia sudah membukakan adanya perekayasaan," ungkap Sugeng.
Sugeng menuturkan, saat pencabutan pengakuan tersebut, Ary Muladi pun mendapatkan tekanan dari penyidik. "Kalau mengubah pengakuan, kamu bisa dipidanakan karena pemberian keterangan palsu. Begitu kata penyidik," ujar Sugeng menirukan penuturan Ary kepadanya. Menanggapi pengakuan dan pernyataan Ary Muladi melalui Sugeng Teguh Santoso, tim penasihat hukum KPK mengaku mengapresiasinya. Lebih lanjut, tim penasihat hukum melalui Ahmad Rivai mendesak penyidik untuk berbuat seperti yang dilakukan Ary Muladi dalam kasus tersebut.
"Penyidik seharusnya seperti Ary. Kalau memang enggak ada penyuapan dan pemerasan yang dilakukan pimpinan, jangan dibilang dan dipaksa untuk diadakan. Pimpinan KPK jangan dikerjain kayak begini," tutur Ahmad Rivai. Ahmad Rivai pun mendesak agar penyidik mengungkap kebenaran pengakuan Anggodo dalam dokumen 15 Juli. "Ary saja mencabut karena itu enggak benar. Seharusnya itu (pengakuan Anggodo) diperiksa, diusut. Anggodo harus bertanggung jawab kalau tetap bersikukuh mengakui itu. Harus diproses hukum karena Ary Muladi sendiri sudah mengakui itu, penyuapan dan pemerasan, tidak benar," tandas Ahmad Rivai. Sugeng Teguh Santoso pun mengungkapkan hal yang serupa dengan Ahmad Rivai. "Dia menekan Ary agar mengakui itu. Apa kepentingannya? Pasti ada kaitannya dengan perekayasaan. Itu harus diusut," ucapnya.
Walau demikian, Polri terus bergeming dengan tudingan dan desakan dari tim penasihat hukum KPK dan Ary Muladi. "Kalau ada rekayasa, (kok) semua tersangkanya di luar? Yang direkayasa (itu) apa? Nanti dalam persidangan pun akan terbuka. Biarkan proses ini berjalan. Jangan ada kecurigaan," ucap Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Menurut Bibit, Antasari-lah peretas dimulainya rencana perekayasaan kriminalisasi terhadap dia dan Chandra. Dikatakan Bibit kegabahan Antasari yang menemui Anggoro Widjojo di Singapura, setelah korupsi kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Masaro Radiokom di Departemen Kehutanan dan 33 Departemen lainnya, termasuk Polri dan Kejaksaan Agung. Sejak tahun 1985 kasus itu terendus KPK. Hal itu menyebabkan pejabat kejakasaan Agung dan Polri berusaha menghentikan penyidikan SKRT tersebut, khususnya bagi mereka yang tidak mau kasus itu akhirnya terkuak ke publik.
Antasari, yang waktu itu termasuk pejabat Kejaksaan Agung, dinilai Bibit turut mencicipi korupsi pengadaan SKRT oleh Masaro. Hal itu dianggap ilegal karena tidak melalui proses tender. Antasari lalu menemui Anggoro untuk meredam penyidikan kasus yang bermula dari penyidikan KPK terhadap kasus korupsi alih fungsi hutan untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan dengan tersangka Yusuf Emir Faisal. Ini dilakukan karena diketahui membahayakan Kejaksaan Agung dan Polri. "Ya itu," tegas Bibit mengenai peranan Antasari selaku peretas jalan kriminalisasi yang dilakukan pejabat tinggi Polri dan Kejaksaan Agung terhadap dia dan Chandra M Hamzah.
"Penyidikan kami terkait dengan SKRT dianggap berbahaya sehingga orang macam saya ini kira-kira tak disenangi, dan akhirnya dibeginikan (dijebak sehingga jadi tersangka). Saya tentunya enggak terima dibeginikan. Dan itu deputinya, Direktur Penyidikannya dulu Pak Ade Raharja. Masih mereka juga ehingga enggak ada bedanya antara jilid II dan I. Apa pun kebiasaan yang mereka lakukan, ini kita lanjutkan. Tapi kemarin (jilid I) tidak dibeginikan. Jika sekarang yang dipersoalkan itu (penyidikan Masaro), maka kenapa baru sekarang?" ujar Bibit mengomentari penjebakan terhadap dirinya yang dilakukan pejabat Kejaksaan Agung dan Polri, beberapa hari lalu.
Hal senada diungkapkan Taufik Basyari, penasihat hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. "Arahnya memang itu, seperti itu," ujarnya kepada Persda Network.
"Serangan yang paling keras kepada kami ketika kasus Anggoro mulai kami garap. Tanggal 7 Juli 2009 jadi DPO, dikirim surat ke Bareskrim. Pada 10 Juli, Kabareksrim ke sana. Tahunya dari siapa? Dari dia sendiri saat datang ke KPK tanggal 15 Juli. Kenapa dia ke KPK? karena ada isu bahwa pimpinan KPK mau ditangkap karena laporan penyuapan atau pemerasan yang dilaporkan oleh Anggoro atau adiknya, Anggodo, atau melalui pengacaranya. Ada di antara tiga itulah. Kapolri menjelaskan itu tidak benar. Kabarnya, paginya pimpinan Polri itu rapat, terus sorenya dia ngutus Susno ke KPK. Dia (Susno) cerita waktu itu," sambung Bibit menjelaskan kronologi awal kriminalisasi terhadap dirinya dan Chandra M Hamzah.
Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Sulistyo Ishak mengakui adanya pengadaan jaringan komunikasi di tubuh Polri. "Ya ada, tapi seingat saya namanya bukan SKRT," tuturnya. Sulistyo mengaku tidak ingat kapan tepatnya Polri menggunakan jaringan komunikasi. Namun, Sulistyo membantah penanganan kasus dugaan pemerasan Anggoro oleh pimpinan KPK, yang akhirnya membuat kedua pimpinan menjadi tersangka, dilakukan atas kerja sama pengadaan SKRT dengan Masaro.
Sumber Persda Network di kepolisian membenarkan keberadaan Masaro sebagai rekanan pengadaan SKRT di tubuh Polri. Menurut sumber, SKRT di tubuh Polri diadakan oleh Motorola, yang merupakan arkom dari Masaro. "Tapi kasusnya sudah di-SP3 dari lama," ucapnya. Audit BPK terhadap pengadaan SKRT Masaro yang tidak hanya ada di Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa pengadaan itu sarat pelanggaran hukum karena tidak melalui proses tender dan pelaksanaannya tidak pernah diawasi.
Sementara itu, Ary Muladi, tersangka kasus penipuan dan penggelapan aliran dana suap dari Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK, secara mengejutkan mengakui adanya upaya rekayasa pemidanaan kedua pimpinan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kejaksaan Agung dan Polri. "Ya, dia mengaku pernah dipanggil oleh oknum seorang jaksa ke Kejaksaan Agung untuk bertemu dengan jaksa itu, awal-awal pemeriksaan, sekitar bulan Juli," ujar Sugeng Teguh Santoso, penasihat hukum Ary Muladi saat dihubungi Persda, Minggu (25/10).
Ary Muladi lalu disuruh untuk mengakui adanya pemberian uang sejumlah Rp 5,1 milliar kepada pimpinan KPK dalam testimoni 15 Juli, yang merupakan pengakuannya bersama Anggodo Widjojo dalam pemeriksaan perdana yang dilakukan penyidik terhadapnya. Padahal, menurut Ary, seperti dituturkan Sugeng, pemberian uang sebesar Rp 5,1 milliar kepada pimpinan KPK itu tidak pernah dilakukannya. "Ary dalam tekanan (saat mengakui dan menandatangani dokumen 15 Juli) waktu itu oleh penyidik dan Anggodo. Itu pengakuan, yang buat Anggodo, Ary hanya dipaksa menandatangani," ungkap Sugeng.
"Jadi, dia kembali ke nuraninya dan mencabut pengakuan (dokumen 15 Juli) itu karena, saat Ary mengatakan memberi uang itu kepada pimpinan seperti yang tertuang dalam dokumen 15 Juli itu, hal itu merupakan suatu kebohongan dan perekayasaan," ujar Sugeng. Sugeng tidak menampik bahwa Ary dapat dipidanakan oleh tim penasihat hukum KPK akibat perbuatannya itu.
"Benar, dia pernah jadi pelaku perekayasaan. Itu (pemidanaan) bisa saja terjadi. Itu kan sudah terjadi pemfitnahan. Tapi sekarang dia harus dilindungi oleh KPK karena dia justru telah mengungkapkan kebenaran yang ada. Dia telah membantu tim penasihat hukum KPK dan KPK membuka perekayasaan itu karena, saat mencabut pengakuannya, dia sudah membukakan adanya perekayasaan," ungkap Sugeng.
Sugeng menuturkan, saat pencabutan pengakuan tersebut, Ary Muladi pun mendapatkan tekanan dari penyidik. "Kalau mengubah pengakuan, kamu bisa dipidanakan karena pemberian keterangan palsu. Begitu kata penyidik," ujar Sugeng menirukan penuturan Ary kepadanya. Menanggapi pengakuan dan pernyataan Ary Muladi melalui Sugeng Teguh Santoso, tim penasihat hukum KPK mengaku mengapresiasinya. Lebih lanjut, tim penasihat hukum melalui Ahmad Rivai mendesak penyidik untuk berbuat seperti yang dilakukan Ary Muladi dalam kasus tersebut.
"Penyidik seharusnya seperti Ary. Kalau memang enggak ada penyuapan dan pemerasan yang dilakukan pimpinan, jangan dibilang dan dipaksa untuk diadakan. Pimpinan KPK jangan dikerjain kayak begini," tutur Ahmad Rivai. Ahmad Rivai pun mendesak agar penyidik mengungkap kebenaran pengakuan Anggodo dalam dokumen 15 Juli. "Ary saja mencabut karena itu enggak benar. Seharusnya itu (pengakuan Anggodo) diperiksa, diusut. Anggodo harus bertanggung jawab kalau tetap bersikukuh mengakui itu. Harus diproses hukum karena Ary Muladi sendiri sudah mengakui itu, penyuapan dan pemerasan, tidak benar," tandas Ahmad Rivai. Sugeng Teguh Santoso pun mengungkapkan hal yang serupa dengan Ahmad Rivai. "Dia menekan Ary agar mengakui itu. Apa kepentingannya? Pasti ada kaitannya dengan perekayasaan. Itu harus diusut," ucapnya.
Walau demikian, Polri terus bergeming dengan tudingan dan desakan dari tim penasihat hukum KPK dan Ary Muladi. "Kalau ada rekayasa, (kok) semua tersangkanya di luar? Yang direkayasa (itu) apa? Nanti dalam persidangan pun akan terbuka. Biarkan proses ini berjalan. Jangan ada kecurigaan," ucap Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Sumber : Persda Network
Editor : made
0 comments:
Post a Comment