Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy memuji keberanian mantan
Kabareskrim Komjen Susno Duadji dalam menyatakan adanya makelar kasus di
tubuh kepolisian. untuk membersihkan tubuh Polri makin terbuka lebar.
Namun, Sahetapy menegaskan, pujian itu disampaikannya bukan untuk
membela Susno, melainkan memang karena jenderal berbintang tiga ini
perlu didengar.
Karena itu, untuk di awal pendekatan yang digunakan
pun adalah pendekatan kriminologi, bukan hukum. Jika dalam proses ke
depannya nanti ternyata Susno juga terbukti bersalah, Polri juga harus
menindaknya. Jadi bukan pro Susno, tapi manfaatkan dia,” lanjutnya.
Menurut Sahetapy, Susno harus didorong untuk membongkar kondisi tubuh
Polri hingga memberikan bukti-bukti yang mendukung testimoninya dan
mengonfrontasinya dengan keterangan para jenderal lain sehingga langkah
untuk reformasi tubuh Polri mengalami kemajuan
“Beberapa Kapolri, sudah mencanangkan reformasi internal, ternyata
jalan di tempat. Perubahan sikap anggota Polri juga tidak terjadi,
walaupun Kapolri Soetanto sudah bersusah payah mencanangkan Trust
Building (membangun kepercayaan) 2005-2010. Saya sedih melihat kenyataan
ini,” jelas Susno dengan wajah muram.
Lebih jauh, Susno mencontohkan, masyarakat yang anaknya ingin menjadi
anggota Polri harus membayar sejumlah uang jika ingin diterima.
“Pokoknya dari calon Bintara sampai Akpol semuanya harus pakai duit,
jika tidak jangan harap bisa diterima,” jelas jenderal lulusan Akpol
1977 ini.
Jika ini terus terjadi, menurut Susno, orang kecil akan sulit menjadi
anggota Polri. “Anda lihat sendiri siapa-siapa yang bisa lulus Akpol.
Semuanya anak orang berduit. Jika pun ada anak tukang becak itu sangat
langka,” tukasnya kepada Pos Kota.
Diskriminasi juga terjadi di kepolisian, walaupun ada perwira-perwira
berprestasi di daerah-daerah, tapi sangat sulit mereka bisa masuk ke
Jakarta, jika tidak ada kolega jenderal atau membayar upeti ke oknum di
Mabes Polri.
“Sebab itu mereka yang di Papua dan NTT, akhirnya sampai pensiun di
sana, karena tak mampu menyetor upeti. Sementara mereka yang ada di
Jakarta nggak pernah dipindah karena lancar menyetor,” ungkapnya. Begitu juga jika mereka mau sekolah, tak luput diminta membayar
sejumlah uang, seperti Pendidikan Secapa (sekolah calon perwira),
Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) dan Sekolah Staf dan Perwira
Tinggi (Sespati).
“Memang ini sudah bukan rahasia lagi, jadi sangat sulit dibuktikan,
karena di sini pun terdapat markus-markus jabatan,” jelasnya. Menduduki
jabatan-jabatan strategis menurut Susno juga harus punya kedekatan
dengan para petinggi Polri.
Sewaktu ditanya siapa sosok polisi yang menjadi idolanya, Susno
Duadji langsung menyatakan, Jenderal Hoegeng, Jenderal Awaludin Djamin
dan Jenderal Sutanto. “Saya masih berhubungan baik dengan Pak Tanto,”
ungkapnya.
Kendati dirinya tidak lagi memegang jabatan strategis, Susno bertekad
memberantas mafia jabatan di Polri. Caranya, menurut Susno, akan ia
gelindingan masalah ini ke DPR. “ Saya sekarang hanya punya bola. Isi
bola ini bermacam-macam, lalu saya tendang. Tergantung siapa yang mau
menangkapnya, “ tegas Susno.
0 comments:
Post a Comment